PURWOREJO, ( nupurworejo.com ) – Pimpinan Ranting GP Ansor Kelurahan Baledono menggelar sarasehan sejarah bertajuk ‘Meneladani Mbah Imam Poero’ pada Minggu (30/5) di Aula Al Arifin, Langgar Ndek, Baledono Krajan. Dalam kegiatan tersebut, sepak terjang Waliyullah berjuluk Kanawi atau Khasan Banawi atau Kyai Imam Puro dikupas oleh sejarawan UGM, Dr Ahmad Athoilah,MA berdasarkan referensi ilmiah yang berhasil digalinya.
Baca Juga
Ansor Banser Gebang Gelar Apel Silaturahmi
Dalam paparannya, Dr Ahmad Athoilah,M A., yang juga Penulis Buku Sejarah dan Perkembangan NU di Kulonprogo itu menyebut dalam pengantar diskusinya dengan label ‘Bintang Purworejo Ini Zaman’ untuk menyinggung kiprah Mbah Imam Puro. Pasalnya pada abad 19 Mbah Imam Puro memang sangat masyhur di Purworejo dan bahkan telah memiliki ribuan santri dari seantero Jawa untuk berguru Tarekat Syathariyah kepadanya di Ngemplak, Purworejo.
“Sebelum tahun 1885, dapat dipastikan Kiai Imam Pura telah kembali ke Jawa dan mulai mengajarkan Tarekat Syathariyah-nya yang terkenal di seantero Jawa. Dalam keterangan Michael Laffan berdasarkan Lor 7931,227 disebutkan bahwa Kiai Imam Pura memiliki metode pengajaran yang unik dan khas. Dengan demikian itu, maka Kiai Imam Pura kemudian mendapat kunjungan santri untuk belajar tarekat”, terang Dr Athoilah.
Masih menurut Dr Athoillah, Mbah Imam Puro mampu mempertahankan ciri khas Bagelen dan Tarekat Syathariyah-nya ketika banyak tarekat lain mulai berkembang.
“Kiai Imam Pura sangat sadar betul bahwa tarekat Syathariyah pada akhir abad ke-19 telah bergeser berganti dengan hadirnya tarekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah yang mulai menjamur di Jawa. Namun begitu, Kiai Imam Pura tetap mempertahankan identitas ‘khas’ Bagelennya yang sejak abad ke-18 merupakan basis dari pengajaran tarekat Syathariyah, bahkan paling awal di Jawa Tengah dan Jawa Timur.”, terangnya.
“Kiai Imam Pura berhasil memainkan pola sosial budaya yang telah terbentuk selama hampir satu setengah abad di Bagelan, yang memiliki model Islam agraris pedalaman yang santri-priayi yang tidak lepas dari identitas pesantren dan tarekat”, tambah Dr Athoillah.
Masih menurut Dr Athoillah, setidaknya ada tiga hal yang bisa digaris bawahi dari kiprah perjuangan Mbah Imam Puro.
“Yang pertama, Mbah Imam Puro ini memahami kearifan lokal, singkatnya Mbah Imam Puro tahu apa yang dibutuhkan dan digemari masyarakat pada waktu itu. Kemudian yang kedua, Mbah Imam Puro memahami bahwa di daerah Bagelen ini priyayi-santri masih memiliki tempat yang tinggi. Artinya Mbah Imam Puro memahami geneologi di Purworejo”, terangnya.
Narasumber kedua, KH Ahmad Hamid AK, yang merupakan Ketua Bani Imam Puro menyampaikan bahwa Mbah Imam Puro termasuk kyai yang kuat tirakat.
“Di keluarga, selalu disampaikan keturunannya simbah jangan sampai yang tercela. Ini untuk sesuatu yang sudah disampaikan oleh Mbah Imam Puro sudah memberikan kiprahnya yang luar biasa, ya jangan sampai keturunannya malah melakukan sesuatu yang mencederai kiprah itu”, Kyai Hamid AK
“Kalau ikut tirakatnya memang berat, salah satunya mbah yai Imam Puro itu mulai wirid sebelum Shubuh, dan nanti selesai atau keluar dari masjid itu setelah Dhuha. Hal seperti ini susah ditiru generasi hari ini. Dan satu hal lagi, beliau adalah orang yang sendiko dawuh sama gurunya, salah satunya ketika bertemu dengan 313 bebek oleh Mbah Rofingi Loning”, tambah beliau.
Sarasehan yang berlangsung sekitar satu setengah jam ini menjadi langkah-langkah untuk awal kepedulian dan mengangkat sejarah alim ulama di daerahnya.
Kegiatan sarasehan ini sendiri merupakan acara puncak dari rangkaian Gebyar Syawalan yang diadakan Pimpinan Ranting GP Ansor Baledono sejak Hari Jum’at yang lalu.
Kontributor : Huda
Editor : MH/AR/RA/LH